Flash Vortex

Sabtu, 18 Februari 2012

Dongeng Rawa Pening (Baru Klinting)


Alkisah di lereng gunung Merbabu dulu ada seorang Maharesi bernama Sang Ajar Windusana mempunyai istri yang sangat cantik bernama Dyah Kasmala, puteri raja Brawijaya. Mereka hidup rukun saling mengasihi, pada saat Dyah Kasmala mengandung 4 bulan ada upacara bersih desa “Kanda, bolehkah saya pinjam pisau itu untuk membantu ibu-ibu membikin takir?” begitu teman biasanya kalau ada upacara ibu-ibu sibuk menyiapkan makannannya. “Ooo boleh, tetapi jangan sampai pisau ini disimpan dekat perut”. Nah pada waktu pulang Dyah Kasmala lupa akan pesan suaminya, pisau itu diselipkan di kembennya.
Sembilan bulan sepuluh hari tibalah saatnya Dyah Kasmala melahirkan anaknya, yang terjadi sangat mengejutkan ! Dyah Kasmala melahirkan seekor ular dengan sirip pancawarna. Karena terkejut Dyah Kasmala seketika itu juga menghembuskan nafas terakhirnya.   “Ohhh istriku”. Desah sang ajar dengan sedihnya.
Sang Ajar pun membuang anaknya itu ke samudera dengan maksud supaya ular itu mati ditelan ombak. Tetapi kawan, Tuhan berkehendak lain, ular itu menjadi besar dan bertemu dengan Dewi Angin-angin, ular itu diberitahu bahwa ia adalah anak Sang Resi Windusana. Ular itu pun berniat ingin menemui ayahnya
Sang Resi lupa bahwa ular itu anak kandungnya sendiri, dengan rasa takut sang resi memberi nama anaknya Baru Kelinting. “Anakku mulai hari ini kau kuperintahkan untuk bertapa di tepi samudera”. Kemudian Baru kelinting bertapa mati raga, masuk ke dalam sebuah rawa yang terletak di tepi samudera. Bertahun-tahun ia bertapa sampai badannya tertimbun tanah, lumpur dan lumut hingga tak kelihatan wujud aslinya. 
Berapa tahun kemudian, di tengah hari yang terik, tiba-tiba ada orang berteriak “Hooyyyyy ada belut raksasa, besar sekali terbenam dalam Lumpur, kemarilah !”. Nah akibat dari teriakan itu dalam waktu sekejab orang-orang telah berdatangan, mula-mula sepuluh orang, kemudian menjadi 20, 40, 80, 160 dan tak terhitung lagi jumlahnya. Mereka menemukan binatang aneh, besarnya melebihi pangkal pohon kelapa, panjangnya tak terhingga. Darahnya mengucur deras, karena tertancap sabit orang yang sedang mencari rumput. Ternyata binatang itu adalah ular besar yang sangat panjang, matilah ular itu seketika. Setelah ular besar itu mati mereka memotong-motong untuk diambil dagingnya.  semua orang yang datang mengambil daging sepuasnya. Menjelang petang, matahari sudah mulai tenggelam di merahnya langit merah nun jauh di ufuk barat. Semua orang sudah pulang, tinggalah bercak-bercak darah berceceran, dan serpihan daging yang menimbulkan bau anyir memuakkan.
Ajar Windusana mendengar bahwa anaknya dibunuh oleh orang-orang lembah Merbabu, Ajar Windusana marah, ia menyamar menjadi anak kecil yang baru berusia 4 tahun. Anak kecil itu kemudian berkeliling meminta sekerat daging  Tetapi semua penduduk tidak ada yang memberinya. Sampailah di gubug reyot dimana nenek tua renta itu tinggal. Anak itu meminta kepada nenek penghuni gubug, dijawabnya begini “Seandainya aku punya akan kuberikan semua cucu, aku tidak punya”. Anak kecil itu melihat sebatang lidi yang terselip di dinding bambu, kemudian ia memintanya..
Pagi hari waktu matahari setinggi tombak, saat anak anak lembah Merbabu sedang bermain, “Hei teman-teman aku punya sayembara kalau ada yang dapat mencabut lidi ini boleh memenggal kepalaku, tapi apabila tidak sanggup, kalian harus memberi sepotong daging mentah kepadaku sebagai tuah”. Seru Ajar Windusana yang menyamar sebagai anak kecil.  Anak lembah itupun kemudian berebut untuk mencabut, tetapi tidak ada yang mampu. Kemudian banyak orang dewasa bergantian untuk mencabut lidi itu, tetapi sia-sia.
“Sudahlah, aku tak mampu mencabut lidi ini”. Kata mereka dengan pasrah. Anak kecil itu langsung memegang lidi, sambil menoleh ke belakang tercabutlah lidi itu dengan mudahnya, seketika itu keluarlah mata air dengan deras, dan kemudian berubah menjadi air bah  menggenangi desa-desa di sekitarnya. Semua orang mati tenggelam, hanya nenek tua renta yang selamat, naik lesung serta membawa centong nasi sebagai dayung. Akhirnya ia sampai di daratan dan tinggal di sebuah gunung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar